Skip to main content

Analisis Putusan MK Terhadap sistem Jaminan Sosial Tenaga Kerja

Analisis Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Dalam Perkara Permohonan Pengujian Pasal 4 ayat (1) Undang-undang No. 3 Tahun 1992 Tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja dan Pasal 13 Ayat (1) Undang-undang Nomor 40 Tahun 2004 Tentang sistem Jaminan Sosial Nasional Terhadap Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,



A.         PENDAHULUAN

Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan salah satu lembaga negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. MK dibentuk dengan fungsi untuk menjamin tidak akan ada lagi produk hukum yang keluar dari koridor konstitusi sehingga hak-hak konstitusional warga negara terjaga dan konstitusi itu sendiri terkawal konstitusionalitasnya Jika suatu undang-undang atau salah satu bagian daripadanya dinyatakan terbukti tidak selaras dengan konstitusi, maka produk hukum itu akan dibatalkan MK. Sehingga semua produk hukum harus mengacu dan tak boleh bertentangan dengan konstitusi. Disamping memiliki fungsi untuk melakukan pengujian produk hukum, MK juga memiliki fungsi untuk memutus sengketa antarlembaga negara, memutus pembubaran partai politik, dan memutus sengketa hasil pemilu.

Secara khusus disini akan dianalisis mengenai putusan MK Dalam Perkara Permohonan Pengujian Pasal 4 ayat (1) Undang-undang No. 3 Tahun 1992 Tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja dan Pasal 13 Ayat (1) Undang-undang Nomor 40 Tahun 2004 Tentang sistem Jaminan Sosial Nasional Terhadap Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang menjadi pemohon dalam hal ini adalah Dr. Rico Pandeirot S.H dkk.

Pokok permohoan para pemohon antara lain :

1. Bahwa Para Pemohon mengajukan Permohonan Pengujian ketentuan Pasal 6 dan Pasal 25 ayat (2) Undang-Undang Jamsostek yang secara lengkap berbunyi :

Pasal 6: Ayat (1)

"Ruang lingkup program jaminan sosial tenaga kerja dalam Undang¬undang ini meliputi:

a.                   Jaminan Kecelakaan Kerja;

b.                  Jaminan Kematian;

c.                   Jaminan Hari Tua;

d.                  Jaminan Pemeliharaan Kesehatan

Ayat (2)

Pengembangan program jaminan sosial tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 25 ayat (2):

"Badan Penyelenggara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), adalah Badan Usaha Milik Negara yang dibentuk dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku."


Ketentuan tersebut diatas dianggap bertentangan dengan Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang menyatakan: “Negara mengembangkan system jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan".

2. Bahwa menurut Para Pemohon, Pasal 52 ayat (2) UU SJSN telah mengamanahkan agar BPJS (Badan Pelaksana Jaminan Sosial Nasional) yang ada (Jamsostek, Taspen, Asabri dan Askes) sudah harus disesuaikan paling lambat 5 tahun setelah UU SJSN diundangkan, oleh karena itu UU No. 3 Tahun 1992 tentang Jamsostek seharusnya sudah disesuaikan paling lambat 19 Oktober 2009; akan tetapi hingga permohonan ini diajukan, UU BPJS Jamsostek tersebut belum juga dibuat, sehingga pelaksanaan operasional Jamsostek sejak tanggal 19 Oktober 2009 sudah tidak sejalan dengan Pasal 34 ayat (2) UUD RI Tahun 1945 dan peraturan pelaksananya UU No.40 Tahun 2004 tentang SJSN;

3. Bahwa penyesuaian BPJS Jamsostek dengan UU SJSN sangat penting karena substansi UU Jamsostek tidak sejalan dengan SJSN. Beberapa hal yang tidak sejalan tersebut menurut Pemohon antara lain:

a. Pasal 25 ayat (2) UU Jamsostek bertentangan dengan Pasal 34 ayat (2) UUD RI Tahun 1945 melalui penjabaran Pasal 4 UU SJSN mengatur mengenai Bentuk Badan Hukum BPJS termasuk Jamsostek diselenggarakan dengan berdasarkan prinsip kegotongroyongan, nirlaba, keterbukaan, kehati-hatian, akutabilitas, portabilitas, dana amanat dan hasil pengelolaan Dana Jaminan Sosial dipergunakan seluruhnya untuk pengembangan program clan untuk sebebsar-besarnya kepentingan peserta.


b. Pasal 6 UU Jamsostek tidak memasukan program pensiun seperti pada Pasal 18 UU SJSN sebagai penjabaran clan Pasal 34 ayat (2) UUD RI Tahun 1945.


c. Bahwa yang cocok dengan harapan UU SJSN adalah Pengelolaan Jamsostek berbentuk Badan Hukum Perkumpulan sebagaimana diatur dalam stb 1870 No.64 jo. 1939 No.570 dan 569.

B.          ANALISIS PUTUSAN

Pada dasarnya UU ini dirancang guna menekankan pada perlindungan bagi tenaga kerja yang relatif mempunyai kedudukan yang lebih lemah. Oleh karena itu, pengusaha memikul tanggung jawab utama dan secara moral pengusaha mempunyai kewajiban untuk meningkatkan perlindungan dan kesejahteraan tenaga kerja.

Selain itu, sudah sewajarnya apabila tenaga kerja juga berperan aktif dan ikut bertanggung jawab atas pelaksanaan program jaminan sosial tenaga kerja demi terwujudnya perlindungan tenaga kerja dan keluarga dengan baik.
Sudah menjadi kodrat bahwa manusia itu berkeluarga dan berkewajiban menanggung kebutuhan keluarganya. Oleh karena itu, kesejahteraan yang perlu dikembangkan bukan hanya bagi tenaga kerja sendiri tetapi juga bagi keluarganya dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam arti luas, yang harus tetap terpelihara termasuk pada saat tenaga kerja kehilangan sebagian atau seluruh penghasilannya sebagai akibat terjadinya risiko sosial, antara lain kecelakaan kerja, sakit, meninggal dunia, dan hari tua.

menurut Saya ruang lingkup Program jaminan sosial sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja tidak dapat dipertentangkan dengan ketentuan Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, karena merupakan perlindungan dasar bagi pekerja dan keluarganya dan merupakan bagian dari sistem jaminan sosial sebagaimana diamanatkan oleh Konstitusi.

Selain hal tersebut diatas, Saya tidak sependapat dengan anggapan para Pemohon yang menyatakan seolah-olah dalam PT. Jamsostek (Persero) tidak melibatkan unsur Pengusaha dan Pekerja, padahal dalam kenyataannya telah diatur dan ditempatkan keterwakilan Pengusaha dan Pekerja secara proporsional, sebagaimana ditentukan Pasal 27 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja menyatakan bahwa: " Pengendalian terhadap penyelenggaraan program jaminan sosial tenaga kerja oleh Badan Penyelenggara dilakukan oleh Pemerintah, sedangkan dalam pengawasan mengikutsertakan unsur pengusaha dan unsur tenaga kerja, dalam wadah yang menjalankan fungsi pengawasan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Para Pemohon dalam seluruh uraiannya tidak dapat menguraikan secara jelas dan tegas serta kabur (obscuur libels), utamanya dalam mengkonstruksikan adanya kerugian hak-hak konstitusional atas berlakunya ketentuan Pasal 6 dan Pasal 25 ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja.

Para Pemohon telah salah memahami ketentuan yang dimohonkan untuk diuji, karena telah mempertentangkan Undang-Undang Nomor 3 tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja dan Undang-Undang Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan karenanya pula menjadi tidak relevan mempertentangkan ketentuan yang dimohonkan untuk diuji tersebut dengan ketentuan Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Jikalau pun/seumpamanya pun - quad non - alasan para Pemohon dianggap benar adanya, maka menurut Pemerintah hal demikian tidak terkait dengan masalah konstitusionalitas keberlakuan ketentuan yang dimohonkan untuk diuji tersebut, sehingga menurut Pemerintah adalah tepat menjadi kewenangan pembentuk Undang-Undang (DPR bersama Presiden) untuk melakukan sinkronisasi dan harmonisasi melalui mekanisme legislative review dan bukan melalui mekanisme pengujian Undang-Undang (Judicial Review-Constitutional Review) di Mahkamah Konstitusi.

Dari seluruh uraian, menurut Pernerintah ketentuan Pasal 6 dan Pasal 25 ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja telah sejalan dengan amanat konstitusi dan karenanya tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, khususnya ketentuan Pasal 34 ayat (2), karenanya pula tidak merugikan hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon.

C.          KESIMPULAN

Analisis yang dihasilkan terhadap putusan MK haruslah dilihat bagaimana pertimbangan MK didasarkan kepada teori keadilan. Pisau bedah analisis yang penulis gunakan merujuk teori keadilan yang digunakan selain melihat pertimbangan Mahkamah Konstitusi (yang dilihat dari nilai-nilai dan norma yang menjadi pertimbangan Mahkamah Konstitusi) dan konstitusi juga melihat prinsip-prinsip demokrasi. Dengan demikian, analisis yang dihasilkan terhadap putusan MK haruslah dilihat bagaimana pertimbangan MK didasarkan kepada teori keadilan.

DAFTAR PUSTAKA

Undang-undang No. 3 Tahun 1992 Tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja

Undang-undang Nomor 40 Tahun 2004 Tentang sistem Jaminan Sosial Nasional

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5065b27421d82/mengulas-putusan-mk-soal-uu-ketenagakerjaan

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt5078c83ecf921/putusan-putusan-mk-yang-mengubah-aturan-ketenagakerjaan

http://imbalankerja.com/2012/berita-terbaru-keputusan-mahkamah-konstitusi-mengenai-undang-undang-ketenagakerjaan/

http://irmadevita.com/2012/pro-kontra-pelaksanaan-outsourching-pasca-putusan-mahkamah-konstitusi

Popular posts from this blog

Beberapa Teknik yang digunakan dalam Konseling Kelompok (Bimbingan Konseling)

TEKNIK – TEKNIK KONSELING KELOMPOK Berikut ini adalah beberapa Teknik atau cara yang sering dan dapat digunakan (situasional) untuk kegiatan konseling kelompok dalam bimbingan dan konseling 1. Teknik Re-inforcement (penguatan) Salah satu metode dalam menstimulasi spontanitas dan interaksi antara anggota kelompok adalah dengan membuat pernyataan verbal ataupun non verbal yang bersifat menyenangkan. Cara ini sangat membantu ketika memulai konseling pada kelompok baru. Contoh : Verbal :“super sekali” Non verbal : acungan jempol 2. Teknik Summary ( Meringkas) Summary adalah kumpulan dari dua tema masalah atau lebih dan refleksi yang merupakan ringkasan dari pembicaraan konseli .Teknik ini digunakan selama proses konseling terjadi. Setelah anggota kelompok mendiskusikan topic yang dibahas, konselor kemudian meringkas apa yang telah dibicarakan. Contoh : Konselor menginginkan kelompok nya untuk membuat ringkasan yang telah dibahas. 3. Teknik Pick-Up Konselor me

Memahami Makna Filsafat Pancasila Di abad 21

Memahami makna dan Arti Pancasila Pancasila merupakan dasar falsafah dari Negara Indonesia. Pancasila telah diterapkan dalam kehidupan masyarakat Indonesia sehari-hari. Pancasila lahir 1 Juni 1945 dan ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945 bersama-sama dengan UUD 1945. Sejarah Indonesia telah mencatat bahwa tokoh yang merumuskan pancasila ialah Mr Mohammad Yamin, Prof. Mr. Soepomo, dan Ir. Soekarno. Jika pancasila dilihat dari aspek historis maka disini bisa dilihat bagaimana sejarah pancasila yang menjiwai kehidupan dan perjuangan bangsa Indonesia dan bagaimana pancasila tersebut dirumuskan menjadi dasar Negara.  Hal ini dilihat dari pada saat zaman penjajahan dan kolonialisme yang mengakibatkan penderitaan bagi seluruh bangsa Indonesia, yang kemudian diperjuangkan oleh bangsa Indonesia akhirnya merdeka sampai sekarang ini, nilai-nilai pancasila tumbuh dan berkembang dalam setiap kehidupan masyarakat Indonesia. Tentunya pengamalan sila-sila pancasila juga perlu diterapkan d

Perilaku Memilih masyarakat "Golput" pada Pemilu Eksekutif dan legislatif di Indonesia

 KAJIAN ILMU   POLITIK TENTANG PERILAKU MEMILIH DALAM PEMILU EKSEKUTIF  “Analisis Penyebab Masyarakat Tidak Memilih Dalam Pemilu” (Golput) 1.  Pendahuluan /latar belakang masalah Bangsa Indonesia sejak tahun 1955 hingga 2009 saja Indonesia sudah melaksanakan 10 kali pemilihan umum eksekutif. Fakta dalam setiap pelaksanaan eksekutif masyarakat yang tidak menggunakan hak pilihnya selalu ada dan cendrung meningkat dari setiap pelaksanaan eksekutif. Perilaku tidak memilih pemilih di Indonesia dikenal dengan sebutan golput. Kata golput adalah singkatan dari golongan putih. Makna inti dari kata golput adalah tidak menggunakan hak pilih dalam pemilu dengan berbagai faktor dan alasan. Fenomena golput sudah terjadi sejak diselenggarakan pemilu pertama tahun 1955, akibat ketidaktahuan atau kurangnya informasi tentang penyelenggaraan pemilu. Biasanya mereka tidak datang ke tempat pemungutan suara. Sedangkan di era Orde Baru, golput lebih diartikan sebagai gerakan moral untuk mempro