"Implikasi golongan putih dalam prespektif pembangunan demokrasi indonesia”
1. Pendahuluan
Sebagai konsekuensi negara demokrasi, Indonesia telah menyelenggarakan sembilan kali pemilihan umum (Pemilu) secara reguler, yaitu Tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, dan 2004 untuk pemilihan calon legislatif (Pileg) dan pemilihan calon presiden dan wakil presiden (Pilpres). Secara spesifik dunia internasional memuji, bahwa Pemilu Tahun 1999 sebagai Pemilu pertama di era Reformasi yang telah berlangsung secara aman, tertib, jujur, dan adil dipandang memenuhi standar demokrasi global dengan tingkat partisipasi politik 92,7%, sehingga Indonesia dinilai telah melakukan lompatan demokrasi.
Namun jika dilihat dari aspek partisipasi politik dalam sejarah pesta demokrasi di Indonesia. Pemilu tahun 1999 merupakan awal dari penurunan tingkat partisipasi politik pemilih, atau mulai meningkatnya golongan putih (golput), dibandingkan dengan Pemilu sebelumnya dengan tingkat partisipasi politik pemilih tertinggi 96,6% pada Pemilu tahun 1971. Lebih-lebih jika dinilai dengan penyelenggaraan Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) sebagai bagian dari Pemilu yang telah berlangsung di beberapa daerah, terutama di wilayah Jawa sebagai konsentrasi mayoritas penduduk Indonesia juga menunjukkan potensi Golput yang besar berkisar 32% sampai 41,5%.
baca juga : PENGARUH KEKUATAN PARTAI POLITIK DALAM PROSES PEMBUATAN DAN PENERAPAN KEBIJAKAN DI INDONESIA
Sebagai konsekuensi negara demokrasi, Indonesia telah menyelenggarakan sembilan kali pemilihan umum (Pemilu) secara reguler, yaitu Tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, dan 2004 untuk pemilihan calon legislatif (Pileg) dan pemilihan calon presiden dan wakil presiden (Pilpres). Secara spesifik dunia internasional memuji, bahwa Pemilu Tahun 1999 sebagai Pemilu pertama di era Reformasi yang telah berlangsung secara aman, tertib, jujur, dan adil dipandang memenuhi standar demokrasi global dengan tingkat partisipasi politik 92,7%, sehingga Indonesia dinilai telah melakukan lompatan demokrasi.
Namun jika dilihat dari aspek partisipasi politik dalam sejarah pesta demokrasi di Indonesia. Pemilu tahun 1999 merupakan awal dari penurunan tingkat partisipasi politik pemilih, atau mulai meningkatnya golongan putih (golput), dibandingkan dengan Pemilu sebelumnya dengan tingkat partisipasi politik pemilih tertinggi 96,6% pada Pemilu tahun 1971. Lebih-lebih jika dinilai dengan penyelenggaraan Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) sebagai bagian dari Pemilu yang telah berlangsung di beberapa daerah, terutama di wilayah Jawa sebagai konsentrasi mayoritas penduduk Indonesia juga menunjukkan potensi Golput yang besar berkisar 32% sampai 41,5%.
2. Permasalahan yang di kaji
Secara prediktif jika kondisi politik dan ekonomi kurang kondusif, maka penyelenggaraan Pileg dan Pilpres 2009 nampaknya juga akan menghadapi realitas kondisional, yaitu di satu sisi penurunan partisipasi politik pemilih, dan di sisi lain meningkatnya jumlah Golput, sehingga akan timbul apatisme politik, seperti dikemukakan oleh Secara prediktif jika kondisi politik dan ekonomi kurang kondusif, maka penyelenggaraan Pileg dan Pilpres 2009 nampaknya juga akan menghadapi realitas kondisional, yaitu di satu sisi penurunan partisipasi politik pemilih, dan di sisi lain meningkatnya jumlah Golput, sehingga akan timbul apatisme politik, seperti dikemukakan oleh Secara kuantitatif tampilan tingkat partisipasi politik dalam Tabel 1 menunjukkan, bahwa tingkat partisipasi politik pada pemilu rezim Orde Lama (1995), rezim Orde Baru (1971-1997) dan Orde Reformasi (periode awal 1999) cukup tinggi, yaitu rata-rata diatas 90%, diiringi dengan tingkat Golput yang relative rendah, yaitu dibawah 10% (masih dalam batas kewajaran) Tampilan data aktual hasil Pilkada tersebut menunjukkan, bahwa secara kuantitatif tingkat Golput cukup signifikan, yaitu mencapai prosentase rata-rata lebih dari 30% dari jumlah pemilih terdaftar, dan tentunya secara kualitatif cukup memberikan warning bagi perkembangan demokrasi di Indonesia. Secara empirik peningkatan angka Golput
Baca juga : PENGGOLONGAN KEKUATAN POLITIK DI INDONESIA
3. Kajian teori
Berbagai definisi partisipasi politik dari para pakar ilmu politik tersebut diatas, secara eksplisit mereka memaknai partisipasi politik bersubstansi core political activity yang bersifat personal dari setiap warganegara secara sukarela untuk berperanserta dalam proses pemilihan umum untuk memilih para pejabat publik, baik secara langsung maupun tidak langsung dalam proses penetapan kebijakan publik. Merujuk pemikiran politik tersebut dalam konteks sejarah penyelenggaraan pemilihan umum sebagai pesta demokrasi, secara empirik dapat dicermati tingkat partisipasi politik dan perkembangan golput di Indonesia.
Berbagai definisi partisipasi politik dari para pakar ilmu politik tersebut diatas, secara eksplisit mereka memaknai partisipasi politik bersubstansi core political activity yang bersifat personal dari setiap warganegara secara sukarela untuk berperanserta dalam proses pemilihan umum untuk memilih para pejabat publik, baik secara langsung maupun tidak langsung dalam proses penetapan kebijakan publik. Merujuk pemikiran politik tersebut dalam konteks sejarah penyelenggaraan pemilihan umum sebagai pesta demokrasi, secara empirik dapat dicermati tingkat partisipasi politik dan perkembangan golput di Indonesia.
Selanjutnya secara eksplisit, Huntington dan Nelson (1994:11) membedakan partisipasi politik kedalam dua karakter, yaitu:
a. Partisipasi yang demokratis dan otonom adalah bentuk partisipasi politik yang sukarela;
b. Partisipasi yang dimanipulasi, diarahkan, dan disponsori oleh Pemerintah adalah bentuk partisipasi yang dimobilisasikan; Selanjutnya secara eksplisit, Huntington dan Nelson (1994:11) membedakan partisipasi politik kedalam dua karakter, yaitu:
a. Partisipasi yang demokratis dan otonom adalah bentuk partisipasi politik yang sukarela;
b. Partisipasi yang dimanipulasi, diarahkan, dan disponsori oleh PemSecara faktual fenomena Golput tidak hanya terjadi di negara demokrasi yang sedang berkembang, di negara yang sudah maju dalam berdemokrasipun juga menghadapi fenomena Golput, seperti di Amerika Serikat yang capaian angka partisipasi politik pemilihnya berkisar antara 50% s/d 60%,Secara faktual fenomena Golput tidak hanya terjadi di negara demokrasi yang sedang berkembang, di negara yang sudah maju dalam berdemokrasipun juga menghadapi fenomena Golput, seperti di Amerika Serikat yang capaian angka partisipasi politik pemilihnya berkisar antara 50% s/d 60%, begitu pula di Perancis dan Belanda yang angka capaian partisipasi politik pemilihnya berkisar 86%. begitu pula di Perancis dan Belanda yang angka capaian partisipasi politik pemilihnya berkisar 86%. erintah adalah bentuk partisipasi yang dimobilisasikan;
4. Pembahasan
Dalam tahapan demokrasi elektoral atau demokrasi prosedural, golput adalah manifestasi politik, dimana rakyat tidak berpartisipasi politik (menggunakan hak pilihnya) secara sukarela dalam pemilihan umum sebagai pesta demokrasi. Secara faktual fenomena Golput tidak hanya terjadi di negara demokrasi yang sedang berkembang, di negara yang sudah maju dalam berdemokrasipun juga menghadapi fenomena Golput, seperti di Amerika Serikat yang capaian angka partisipasi politik pemilihnya berkisar antara 50% s/d 60%, begitu pula di Perancis dan Belanda yang angka capaian partisipasi politik pemilihnya berkisar 86%.
Secara kondisional faktor penyebab munculnya Golput di negara berkembang dan di negara maju tentunya berbeda. Sebagaimana dikemukakan Varma (2001:295) bahwa: “Di Negara berkembang lebih disebabkan oleh kekecewaan masyarakat terhadap kinerja pemerintahan hasil Pemilu yang kurang amanah dan memandang nilai-nilai demokrasi belum mampu mensejahterakan masyarakat.
Kondisi ini jelas akan mempengaruhi proses demokratisasi kehidupan berbangsa dan bernegara, karena terjadi paradoks demokrasi atau terjadi kontraproduktif dalam proses demokratisasi”. Karenanya menghadapi fenomena Golput yang terjadi lebih disebabkan oleh faktor kekecewaan publik terhadap kinerja partai politik dan pemerintah yang belum efektif, maka menjadi pembelajaran bagi partai politik dan pemerintah untuk meningkatkan kinerjanya sebagai mesin kerja demokrasi yang efektif dan memiliki komitmen yang kuat, mewujudkan good public governance.
5. Penutup
Buah dari hasil dari reformasi tersebut terjadi kebebasan (liberty) terhadap media massa, regulasi terhadap kehadiraan media massa dialihkan kepada masyarakat (public), terutama lembaga penyiaran seperti rado dan televisi diharuskan untuk dapat memberikan kontribusi terhadap kesejateraan dan kemakmuran masyarakat. Media massa diberi ruang yang bebas dalam menjalankan peran dan fungsi persnya, hanya dengan kebebasan berkomunikasi dan berkepresilah informasi yang benar terwujud, tidak boleh lagi terjadi pressure dan orang dipanjara karena perbedaan pendapat.
Masyarakat harus mendapatkan hah-hak yang fundamental, sebagai masyarakat yang madani (civil-society). Akan tetapi kebebasan bukanlah suatu kebebasan yang tidak ada batasannya, kebebasan harus diartikan saling ada penegrtian dan saling memahami hak-hak sebagai antar warganegara, tidak boleh terjadi tirani hak antara mayoritas dan moniritas, akan tetapi yang minoritas harus merasa dilindungi oleh yang mayoritas, tidak terjadi perampasan hak asazi masing-masing individu. Saat ini kebebasan yang terjadi sudah kebablasan, informasi yang disampaikan oleh media massa saat ini sudah menjadi hyperrealitas, yang memiliki tujuan membentuk persepsi yang cenderung palsu (seolah-olah mewakili kenyataan). Opini yang kadang-kadang dibentuk oleh media massa saat ini sudah mengarah kepada suatu penghakiman (justice), Inikah wajah dari sebuah demokratisasi media massa yang diharapkan.