Skip to main content

Hakikat Pendidikan Multikultural dan Teori Pendidikan Multikultural


Hakikat Pendidikan Multikultural

dan Teori Pendidikan Multikultural  


A.    Latar Belakang Masalah

Indonesia adalah salah satu negara multikultural terbesar di dunia. Kenyataan ini dapat dilihat dari kondisi sosio-kultural maupun geografis yang begitu beragam dan luas. Berdasarkan hal itu, maka diperlukan strategi khusus untuk memecahkan persoalan tersebut melalui berbagai bidang; sosial, ekonomi, budaya, dan pendidikan. Berkaitan dengan hal ini, maka pendidikan multikultural menawarkan satu alternatif melalui penerapan strategi dan konsep pendidikan yang berbasis pada pemanfaatan keragaman yang ada di masyarakat, khususnya yang ada pada siswa seperti keragaman etnis, budaya, bahasa, agama, status sosial, gender, kemampuan, umur, dan sebagainya.

Pendidikan multuikultural didefinisikan sebagai sebuah kebijakan sosial yang didasarkan pada prinsip-prinsip pemeliharaan budaya dan saling memiliki rasa hormat antara seluruh kelompok budaya di dalam masyarakat. Pembelajaran multikultural pada dasarnya merupakan program pendidikan bangsa agar komunitas multikultural dapat berpartisipasi dalam mewujudkan kehidupan demokrasi yang ideal bagi bangsanya (Banks, 1993). Dalam konteks yang luas, pendidikan multikultural mencoba membantu menyatukan bangsa secara demokratis, dengan menekankan pada perspektif pluralitas masyarakat di berbagai bangsa, etnik, kelompok budaya yang berbeda.

Pembelajaran berbasis multikultural didasarkan pada gagasan filosofis tentang kebebasan, keadilan, kesederajatan dan perlindungan terhadap hak-hak manusia. Kerangka konseptual yang digunakan untuk mengembangkan model pendidikan multikultural terdiri dari tiga unsur. Pertama, uraian secara konseptual tentang asumsi teoritik (premis) yang digunakan untuk mengembangkan pendidikan multikultural. Kedua, definisi tautologis dan oprasional tentang pendidikan multikultural. Ketiga, pembahasan pedoman umum dalam menterjemahkan teori ke dalam sebuah tindakan mendidik (educational endeavors). Keempat, prinsip dasar pengembangan silabus dan model pembelajaran multikultural berdasarkan kompetensi.
B.    Rumusan Masalah
1.    Bagaimanakah sebenarnya hakikat dan manfaat pendidikan multikultural?
2.    Bagaimanakah teori pendidikan multikultural?

C.    Tujuan Masalah
1.    Untuk mengetahui hakikat dan manfaat  pendidikan multikultural.
2.    Untuk mengetahui teori pendidikan multikultural.


PEMBAHASAN

A.    Hakikat Pendidikan Multikultural
Pembelajaran multikultural adalah kebijakan dalam praktik pendidikan dalam mengakui, menerima dan menegaskan perbedaan dan persamaan manusia yang dikaitkan dengan gender, ras, kelas, (Sleeter and Grant, 1988). Pendidikan multikultural adalah suatu sikap dalam memandang keunikan manusia dengan tanpa membedakan ras, budaya, jenis kelamin, seks, kondisi jasmaniah atau status ekonomi seseorang (Skeel, 1995). Pendidikan multikultural (multicultural education) merupakan strategi pendidikan yang memanfaatkan keberagaman latar belakang kebudayaan dari para peserta didik sebagai salah satu kekuatan untuk membentuk sikap multikultural. Strategi ini sangat bermanfaat, sekurang-kurangnya bagi sekolah sebagai lembaga pendidikan dapat membentuk pemahaman bersama atas konsep kebudayaan, perbedaan budaya, keseimbangan, dan demokrasi dalam arti yang luas (Liliweri, 2005). Pendidikan multuikultural didefinisikan sebagai sebuah kebijakan sosial yang didasarkan pada prinsip-prinsip pemeliharaan budaya dan saling memiliki rasa hormat antara seluruh kelompok budaya di dalam masyarakat. Pembelajaran multikultural pada dasarnya merupakan program pendidikan bangsa agar komunitas multikultural dapat berpartisipasi dalam mewujudkan kehidupan demokrasi yang ideal bagi bangsanya.

Dalam konteks yang luas, pendidikan multikultural mencoba membantu menyatukan bangsa secara demokratis, dengan menekankan pada perspektif pluralitas masyarakat di berbagai bangsa, etnik, kelompok budaya yang berbeda. Dengan demikian sekolah dikondisikan untuk mencerminkan praktik dari nilai-nilai demokrasi. Kurikulum menampakkan aneka kelompok budaya yang berbeda dalam masyarakat, bahasa, dan dialek; dimana para pelajar lebih baik berbicara tentang rasa hormat di antara mereka dan menunjung tinggi nilai-nilai kerjasama, dari pada membicarakan persaingan dan prasangka di antara sejumlah pelajar yang berbeda dalam hal ras, etnik, budaya dan kelompok status sosialnya.
Pembelajaran berbasis multikultural didasarkan pada gagasan filosofis tentang kebebasan, keadilan, kesederajatan dan perlindungan terhadap hak-hak manusia. Hakekat pendidikan multikultural mempersiapkan seluruh siswa untuk bekerja secara aktif menuju kesamaan struktur dalam organisasi dan lembaga sekolah. Pendidikan multikultural bukanlah kebijakan yang mengarah pada pelembagaan pendidikan dan pengajaran inklusif dan pengajaran oleh propaganda pluralisme lewat kurikulum yang berperan bagi kompetisi budaya individual.

Pembelajaran berbasis multikultural berusaha memberdayakan siswa untuk mengembangkan rasa hormat kepada orang yang berbeda budaya, memberi kesempatan untuk bekerja bersama dengan orang atau kelompok orang yang berbeda etnis atau rasnya secara langsung. Pendidikan multikultural juga membantu siswa untuk mengakui ketepatan dari pandangan-pandangan budaya yang beragam, membantu siswa dalam mengembangkan kebanggaan terhadap warisan budaya mereka, menyadarkan siswa bahwa konflik nilai Bering menjadi adi penyebab konflik antar kelompok masyarakat (Savage & Armstrong, 1996). Pendidikan multikultural diselenggarakan dalam upaya mengembangkan kemampuan siswa dalam memandang kehidupan dari berbagai perspektif budaya yang berbeda dengan budaya yang mereka miliki, dan bersikap positif terhadap perbedaan budaya, ras, dan etnis. (Farris & Cooper, 1994).
Tujuan pendidikan dengan berbasis multikultural dapat diidentifikasi: 
  1. untuk memfungsikan peranan sekolah dalam memandang keberadaan siswa yang beraneka ragam;
  2. untuk membantu siswa dalam membangun perlakuan yang positif terhadap perbedaan kultural, ras, etnik, kelompok keagamaan; 
  3. memberikan ketahanan siswa dengan cara mengajar mereka dalam mengambil keputusan dan keterampilan sosialnya; 
  4. untuk membantu peserta didik dalam membangun ketergantungan lintas budaya dan memberi gambaran positif kepada mereka mengenai perbedaan kelompok (Banks, dalam Skeel, 1995)
Di samping itu, pembelajaran berbasis multikultural dibangun atas dasar konsep pendidikan untuk kebebasan (Dickerson, 1993; Banks, 1994); yang bertujuan untuk: (1) membantu siswa atau mahasiswa mengembangkan pengetahuan, sikap dan keterampilan untuk berpartisipasi di dalam demokrasi dan kebebasan masyarakat; (2) memajukan kekebasan, kecakapan, keterampilan terhadap lintas batas-batas etnik dan budaya untuk berpartisipasi dalam beberapa kelompok dan budaya orang lain.

B.    Teori Pendidikan Multikultural
Para pakar memiliki visi yang berbeda dalam memandang multikultural. Para pakar memiliki tekanan yang beragam dalam memahami fenomena multikultural. Ada yang tetap mempertahankan adanya dominasi kelompok tertentu hingga yang benar-benar menekankan pada multikultural. Pada Bab ini kita akan mengenali berbagai teori Pendidikan Multikultural yang dikemukakan oleh para ahli. Pengenalan sudut pandang para pakar teori Pendidikan Multikultural ini akan sangat membantu kita lebih mengenali pelaksanaannya di lapangan.

Horace Kallen
Horace Kallen adalah perintis teori multikultur. Budaya disebut pluralisme budaya (cultural pluralism) jika budaya suatu bangsa memiliki banyak segi dan nilai-nilai. Pluralisme budaya didefinisikan oleh Horace Kallen sebagai "menghargai berbagai tingkat perbedaaan dalam batas-batas persatuan nasional”. Sebagai budaya yang dominan, White Anglo-Saxon Protestan harus diakui masyarakat, sedangkan budaya yang lain itu dipandang menambah variasi dan kekayaan budaya Amerika.

James A. Banks
James A. Banks dikenal sebagai perintis Pendidikan Multikultural. Banks yakin bahwa pendidikan seharusnya lebih mengarah pada mengajari mereka bagaimana berpikir daripada apa yang dipikirkan. Siswa perlu disadarkan bahwa di dalam pengetahuan yang dia terima itu terdapat beraneka ragam interpretasi sesuai kepentingan masing-masing. Siswa perlu diajari dalam menginterpretasikan sejarah masa lalu dan dalam pembuatan sejarah. Siswa harus berpikir kritis dengan memberi pengetahuan dan ketrampilan yang memadai dan memiliki komitmen yang tinggi untuk berpartisipasi dalam tindakan demokratis. Ada tiga kelompok budaya di Amerika : a) tradisionalis Barat, sebagai budaya yang dominan dari peradaban Barat, b) kelompok Afrosentris, yang menolak kebudayaan Barat secara berlebihan dan menganggap sejarah dan budaya orang Afrika seharusnya menjadi sentral dari kurikulum, c) kelompok multikulturalis yang percaya bahwa pendidikan seharusnya direformasi untuk lebih memberi perhatian pada pengalaman orang kulit berwarna dan tentang wanita.

Bill Martin
Bill Martin menulis, bahwa isu menyeluruh tentang multikulturalisme bukan sekedar tempat bernaung berbagai kelompok budaya, namun harus membawa pengaruh radikal bagi semua umat manusia lewat pembuatan perbedaan yang radikal. Seperti halnya Banks, Martin menentang tekanan dari Afrosentris dan tradisionalis Barat. Martin menyebut keduanya "consumerist multiculturalism". Multikulturalisme bukan "consumerist" tetapi "transformational", yang memerlukan kerangka kerja. Masyarakat harus memiliki visi kolektif tipe baru yang berasal dari perubahan sosial yang muncul lewat transformasi.

Martin J. Beck Matustik

Martin J. Beck Matustik berpendapat bahwa perdebatan tentang multikultural di masyarakat Barat berkaitan dengan norma/tatanan. Pembahasan multikultural berada pada pemikiran kembali norma Barat (the western canon) yang mengakui adanya multikultural. Teori multikulturalisme berasal dari liberalisasi pendidikan dan politik Plato. Republik, karya Plato, bukan hanya memberi norma politik dan akademis klasik bagi pemimpin dari negara ideal, namun juga menjadi petunjuk tentang pendidikan bagi yang tertindas. Matustik yakin bahwa kita harus menciptakan pencerahan multikultural baru yaitu "multikulturalisme lokal yang saling bergantung secara global sebagai lawan dari monokultur nasional".

Judith M.Green
      Judith M.Green menunjukkan bahwa multikulturalisme bukan hanya di AS. Kelompok budaya kecil harus mengakomodasi dan memiliki toleransi dengan budaya dominan. Amerika memberi tempat perlindungan dan memungkinkan kelompok kecil itu mempengaruhi kebudayaan yang ada. Secara bersama-sama, kelompok tersebut memperoleh kekuatan dan kekuasaan untuk membawa perubahan dan peningkatan dalam ekonomi, partisipasi politis dan media massa. Untuk itu diperlukan pendidikan dan lewat pendidikanlah Amerika meraih kesuksesan terbesar dalam transformasi dan sejak kelahirannya Amerika selalu memiliki masyarakat multikultural yang telah bersatu lewat perjuangan, interaksi, dan kerjasama.

PENUTUP

A.    Kesimpulan
Pendidikan multikultural adalah suatu sikap dalam memandang keunikan manusia dengan tanpa membedakan ras, budaya, jenis kelamin, seks, kondisi jasmaniah atau status ekonomi seseorang. Pendidikan multikultural (multicultural education) merupakan strategi pendidikan yang memanfaatkan keberagaman latar belakang kebudayaan dari para peserta didik sebagai salah satu kekuatan untuk membentuk sikap multikultural. Strategi ini sangat bermanfaat, sekurang-kurangnya bagi sekolah sebagai lembaga pendidikan dapat membentuk pemahaman bersama atas konsep kebudayaan, perbedaan budaya, keseimbangan, dan demokrasi dalam arti yang luas.
Pembelajaran berbasis multikultural berusaha memberdayakan siswa untuk mengembangkan rasa hormat kepada orang yang berbeda budaya, memberi kesempatan untuk bekerja bersama dengan orang atau kelompok orang yang berbeda etnis atau rasnya secara langsung. Salah satu tujuannya yaitu: untuk membantu peserta didik dalam membangun ketergantungan lintas budaya dan memberi gambaran positif kepada mereka mengenai perbedaan kelompok.

B.    Saran
Pendidikan multikultural sangatlah penting manfaatnya bagi siswa, karena selain untuk membantu siswa dalam membangun perlakuan yang positif terhadap perbedaan kultural, ras, etnik, kelompok keagamaan, pendidikan multikultural juga memberikan ketahanan siswa dengan cara mengajar mereka dalam mengambil keputusan dan keterampilan sosialnya. Maka dari itu peran pemerintah untuk menfasilitasi pendidikan multikultural sangat diharapkan agar tercipta keharmonisan dan kesejahteraan dalam kehidupan berkebangsaan yang heterogen dan majemuk.


DAFTAR PUSTAKA

 Ali, Muhamad. 2003. Teologi Pluralis-Multikultural: Menghargai Kemajemukan  Menjalin Kebersamaan. Jakarta. Penerbit Buku Kompas
      Banks, J.A. 1993. “Multicultural Educatian: Historical Development, Dimentions and                 Practrice”
       http://www.scribd.com/doc/67040530/61414964-Pendidikan-Multikultural
       http://kabepiilampungcom.wordpress.com/2009/10/18/pembelajaran-berbasis                     multikultural/



Popular posts from this blog

Beberapa Teknik yang digunakan dalam Konseling Kelompok (Bimbingan Konseling)

TEKNIK – TEKNIK KONSELING KELOMPOK Berikut ini adalah beberapa Teknik atau cara yang sering dan dapat digunakan (situasional) untuk kegiatan konseling kelompok dalam bimbingan dan konseling 1. Teknik Re-inforcement (penguatan) Salah satu metode dalam menstimulasi spontanitas dan interaksi antara anggota kelompok adalah dengan membuat pernyataan verbal ataupun non verbal yang bersifat menyenangkan. Cara ini sangat membantu ketika memulai konseling pada kelompok baru. Contoh : Verbal :“super sekali” Non verbal : acungan jempol 2. Teknik Summary ( Meringkas) Summary adalah kumpulan dari dua tema masalah atau lebih dan refleksi yang merupakan ringkasan dari pembicaraan konseli .Teknik ini digunakan selama proses konseling terjadi. Setelah anggota kelompok mendiskusikan topic yang dibahas, konselor kemudian meringkas apa yang telah dibicarakan. Contoh : Konselor menginginkan kelompok nya untuk membuat ringkasan yang telah dibahas. 3. Teknik Pick-Up Konselor me

Memahami Makna Filsafat Pancasila Di abad 21

Memahami makna dan Arti Pancasila Pancasila merupakan dasar falsafah dari Negara Indonesia. Pancasila telah diterapkan dalam kehidupan masyarakat Indonesia sehari-hari. Pancasila lahir 1 Juni 1945 dan ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945 bersama-sama dengan UUD 1945. Sejarah Indonesia telah mencatat bahwa tokoh yang merumuskan pancasila ialah Mr Mohammad Yamin, Prof. Mr. Soepomo, dan Ir. Soekarno. Jika pancasila dilihat dari aspek historis maka disini bisa dilihat bagaimana sejarah pancasila yang menjiwai kehidupan dan perjuangan bangsa Indonesia dan bagaimana pancasila tersebut dirumuskan menjadi dasar Negara.  Hal ini dilihat dari pada saat zaman penjajahan dan kolonialisme yang mengakibatkan penderitaan bagi seluruh bangsa Indonesia, yang kemudian diperjuangkan oleh bangsa Indonesia akhirnya merdeka sampai sekarang ini, nilai-nilai pancasila tumbuh dan berkembang dalam setiap kehidupan masyarakat Indonesia. Tentunya pengamalan sila-sila pancasila juga perlu diterapkan d

Perilaku Memilih masyarakat "Golput" pada Pemilu Eksekutif dan legislatif di Indonesia

 KAJIAN ILMU   POLITIK TENTANG PERILAKU MEMILIH DALAM PEMILU EKSEKUTIF  “Analisis Penyebab Masyarakat Tidak Memilih Dalam Pemilu” (Golput) 1.  Pendahuluan /latar belakang masalah Bangsa Indonesia sejak tahun 1955 hingga 2009 saja Indonesia sudah melaksanakan 10 kali pemilihan umum eksekutif. Fakta dalam setiap pelaksanaan eksekutif masyarakat yang tidak menggunakan hak pilihnya selalu ada dan cendrung meningkat dari setiap pelaksanaan eksekutif. Perilaku tidak memilih pemilih di Indonesia dikenal dengan sebutan golput. Kata golput adalah singkatan dari golongan putih. Makna inti dari kata golput adalah tidak menggunakan hak pilih dalam pemilu dengan berbagai faktor dan alasan. Fenomena golput sudah terjadi sejak diselenggarakan pemilu pertama tahun 1955, akibat ketidaktahuan atau kurangnya informasi tentang penyelenggaraan pemilu. Biasanya mereka tidak datang ke tempat pemungutan suara. Sedangkan di era Orde Baru, golput lebih diartikan sebagai gerakan moral untuk mempro