Skip to main content

Perilaku Memilih masyarakat "Golput" pada Pemilu Eksekutif dan legislatif di Indonesia


 “Analisis Penyebab Masyarakat Tidak Memilih Dalam Pemilu” (Golput)

1.  Pendahuluan /latar belakang masalah

Bangsa Indonesia sejak tahun 1955 hingga 2009 saja Indonesia sudah melaksanakan 10 kali pemilihan umum eksekutif. Fakta dalam setiap pelaksanaan eksekutif masyarakat yang tidak menggunakan hak pilihnya selalu ada dan cendrung meningkat dari setiap pelaksanaan eksekutif. Perilaku tidak memilih pemilih di Indonesia dikenal dengan sebutan golput.
Kata golput adalah singkatan dari golongan putih. Makna inti dari kata golput adalah tidak menggunakan hak pilih dalam pemilu dengan berbagai faktor dan alasan. Fenomena golput sudah terjadi sejak diselenggarakan pemilu pertama tahun 1955, akibat ketidaktahuan atau kurangnya informasi tentang penyelenggaraan pemilu. Biasanya mereka tidak datang ke tempat pemungutan suara. Sedangkan di era Orde Baru, golput lebih diartikan sebagai gerakan moral untuk memprotes penerapan sistem pemilu yang tidak demokratis oleh penguasa saat itu. Sejak era reformasi tren golput cendrung meningkat. Pilpres 1999 angka golput mencapai 6,4%, pilpres 2004 meningkat menjadi 15,9% dan pilpres 2009 menvapai angka 29,1%. 



2. Permasalahan yang di kaji 

Golput seolah menjadi trend yang yang muncul saat pemilihan umum yang biasanya diakibatkan persoalan ekonomi lebih penting dalam penanganan bangsa ketimbang politik. Artinya, masyarakat lebih mengutamakan persoalan sepiring nasi. Tingkat pemenuhan kebutuhan pangan menjadi lebih penting dibanding dengan persoalan penggunaan haknya dalam konstelasi politik. Jika ini benar, maka bisa ditarik kesimpulan sementara, persoalan pekerjaan dan pendapatan adalah masalah persoalan utama politik. Artinya, ke depan isu ekonomi, tenaga kerja dan kesenjangan adalah isu politik bagi bangsa ini, isu lama tapi belum tercapai dengan optimal. 

Yang jelas, Golput harus dikelola dengan melakukan gerakan kultural lewat pendidikan dan sosialisasi politik untuk mengembalikan semangat memilih Pertama, geopolitik yaitu politik menjadi ruang global yang menembusi sekat dan ruang tanpa batasan geografi s yang jelas sehingga kehilangan roh dan orientasinya bagi masyarakat karna efek abad informasi dan globalisasi. Kedua, politik ruang yaitu ruang publik yang menjadi orientasi politik mengalami disorientasi karena faktor ruang maya yang mengutamakan pencitraan. Politik menjadi maya tanpa realitas karena ruang janji lebih dominan daripada ruang aksi. Ketiga, politik waktu yaitu esensi dan substansi politik tidak diutamakan karena mengutamakan kecepatan dan percepatan informasi untuk
mencapai kepentingan. 

Hal ini dapat disebabkan karena kaderisasi dan rekrutmen partai yang tidak jelas serta munculnya caleg-caleg bermasalah dan karbitan Tiga isu utama inilah yang membuat politik kita,meminjam istilahnya Yasraf A. Pilliang mengalami transpolitika karena adanya persilangan politik dengan media, politik dengan dunia hiburan,politik degan seksualitas ,politik dengan komoditi.

3.  kajian teori/konsep yang di gunakan
Dalam kajian perilaku pemilih hanya ada dua konsep utama, yaitu; perilaku memilih (voting behavior) dan perilaku tidak memilih (non voting behavior). David Moon mengatakan ada dua pendekatan teoritik utama dalam menjelaskan prilaku non-voting yaitu: pertama, menekankan pada karakteristik sosial dan psikologi pemilih dan karakteristik institusional sistem pemilu; dan kedua, menekankan pada harapan pemilih tentang keuntungan dan kerugian atas keputusan mereka untuk hadir atau tidak hadir memilih (dalam Hasanuddin M. Saleh;2007).

Istilah golput muncul pertama kali menjelang pemilu pertama zaman Orde Baru tahun 1971. Pemakarsa sikap untuk tidak memilih itu, antara lain Arief Budiman, Julius Usman dan almarhum Imam Malujo Sumali. Langkah mereka didasari pada pandangan bahwa aturan main berdemokrasi tidak ditegakkan, cenderung diinjak-injak (Fadillah Putra ;2003 ; 104).
Golput menurut Arif Budiman bukan sebuah organisasi tanpa pengurus tetapi hanya merupakan pertemuan solidaritas (Arif Budiman). Sedangkan Arbi Sanit mengatakan bahwa golput adalah gerakan protes politik yang didasarkan pada segenap problem kebangsaan, sasaran protes dari dari gerakan golput adalah penyelenggaraan pemilu. Mengenai golput alm. KH. Abdurrahaman Wahid pernah mengatakan “ kalau tidak ada yang bisa di percaya, ngapain repot-repot ke kotak suara? Dari pada nanti kecewa (Abdurrahamn Wahid, dkk, 2009; 1).

Baca Juga :  Komunikasi Politik dan Pencitraan Menjelang Pemilu
4. Uraian Pembahasan

Berdasar pemaparan secara teoritis dan tinjauan penelitian sebelumnya ada perbedaan pendapat para ahli dan temuan hasil penelitian tentang fenomena golput. Menurut David Moon ada perilaku non-voting yaitu pertama, menekankan pada karakteristik sosial dan psikologi pemilih serta karakteristik institusional sistem pemilu; dan kedua, menekankan pada harapan pemilih tentang keuntungan dan kerugian atas keputusan mereka untuk hadir atau tidak hadir memilih.

Merujuk pedapat Arbi Sanit golput dapat diklasifikasi menjadi tiga yaitu Pertama, menusuk lebih dari satu gambar partai. Kedua ,menusuk bagian putih dari kartu suara. Ketiga, tidak mendatangi kotak suara dengan kesadaran untuk tidak menggunakan hak pilih. Sedangkan menurut Novel Ali dapat di bagi dua kelompok golput awam dan kelompok golput pilihan.

Faktor politik adalah alasan atau penyebab yang ditimbulkan oleh aspek politik masyarakat tidak mau memilih. Seperti ketidak percaya dengan partai, tak punya pilihan dari kandidat yang tersedia atau tak percaya bahwa pileg/pilkada akan membawa perubahan dan perbaikan. Kondisi inilah yang mendorong masyarakat untuk tidak menggunakan hak pilihnya.

Stigma politik itu kotor, jahat, menghalalkan segala cara dan lain sebagainya memperburuk kepercayaan masyarakat terhadap politik sehingga membuat masyarakat enggan untuk menggunakan hak pilih. Stigma ini terbentuk karena tabiat sebagian politisi yang masuk pada kategori politik instan. Politik dimana baru mendekati masyarakat ketika akan ada agenda politik seperti pemilu. Maka kondisi ini meruntuhkan kepercayaan masyarakat pada politisi.

Baca Juga : EVALUASI KOMUNIKASI POLITIK DAN PENCITRAAN OLEH KAMARUDDIN HASAN

Faktor lain adalah para politisi yang tidak mengakar, politisi yang dekat dan memperjuangkan aspirasi rakyat. Sebagian politisi lebih dekat dengan para petinggi partai, dengan pemegang kekuasaan. Mereka lebih menngantungkan diri pada pemimpinnya di bandingkan mendekatkan diri dengan konstituen atau pemilihnya. Kondisi lain adalah tingkah laku politisi yang banyak berkonflik mulai konflik internal partai dalam mendapatkan jabatan strategis di partai, kemudian konflik dengan politisi lain yang berbeda partai. Konflik seperti ini menimbulkan anti pati masyarakat terhadap partai politik. Idealnya konflik yang di tampilkan para politisi seharusnya tetap mengedepankan etika politik

Baca juga :  BEBERAPA FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEKUATAN POLITIK DI INDONESIA
5. Penutup
Angka masyarakat yang tidak memilih atau golput dari pemilu ke pemilu terus meningkat. Dari pembahasan tulisan ini tergambar setidaknya ada lima faktor yang membuat orang tidak memilih mulai dengan faktor teknis dan pekerjaan merupakan faktor internal serta faktor ekternal yang terdiri dari administratif, sosialisasi dan politik. Kelima faktor ini berkontribusi terhadap meningkatnya angka golput.

Popular posts from this blog

Beberapa Teknik yang digunakan dalam Konseling Kelompok (Bimbingan Konseling)

TEKNIK – TEKNIK KONSELING KELOMPOK Berikut ini adalah beberapa Teknik atau cara yang sering dan dapat digunakan (situasional) untuk kegiatan konseling kelompok dalam bimbingan dan konseling 1. Teknik Re-inforcement (penguatan) Salah satu metode dalam menstimulasi spontanitas dan interaksi antara anggota kelompok adalah dengan membuat pernyataan verbal ataupun non verbal yang bersifat menyenangkan. Cara ini sangat membantu ketika memulai konseling pada kelompok baru. Contoh : Verbal :“super sekali” Non verbal : acungan jempol 2. Teknik Summary ( Meringkas) Summary adalah kumpulan dari dua tema masalah atau lebih dan refleksi yang merupakan ringkasan dari pembicaraan konseli .Teknik ini digunakan selama proses konseling terjadi. Setelah anggota kelompok mendiskusikan topic yang dibahas, konselor kemudian meringkas apa yang telah dibicarakan. Contoh : Konselor menginginkan kelompok nya untuk membuat ringkasan yang telah dibahas. 3. Teknik Pick-Up Konselor me

Sifat dan Hakikat Kebudayaan

Memahami Sifat dan Hakikat Kebudayaan Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda budaya dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu dipelajari. Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. budaya bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosio-budaya ini tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia. Beberapa alasan mengapa orang mengalami kesulitan ketika berkomunikasi dengan orang dari budaya lain terlihat dalam definisi

Aspek - Aspek dalam Pembelajaran

Memahami Aspek Pembelajaran Berdasarkann teori menurut Bloom seperti yang dikutip dalam Suprijono(2010 : 6) bahwa: “hasil belajar mencakup kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotorik”. Aspek kognitif meliputi pengetahuan seseorang dalam belajar dimana pengetahuan tersebut menjadi acuan dalam berpikir. Demikian dengan aspek afektif yang meliputi sikap seseorang. Dengan pemenuhan terhadap aspek ini seseorang dapat memberikan reaksi yang didasarkan pada aspek kognitif. Aspek psikomotorik merupakan tindakan yang dihasilkan melalui aspek-aspek sebelumnya, dimana aspek ini muncul setelah melalui beberapa tahap dari  aspek kognitif dan afektif.Aspek pembelajaran bergantung pada proses pembelajaran. Menurut Ahmadi (2003 : 260) yaitu : “problematika How : masalah how (bagaimana) berkenaan dengan cara/metode yang digunakan dalam proses pendidikan”. Menggunakan pola mengajar yang relevan bagi seorang guru adalah solusi cerdas untuk dapat meningkatkan hasil siswa dalam belajar, di mana p